Kamis, Februari 05, 2009

Jadwal Pemberian Makanan Bayi

Jadwal Pemberian Makanan Bayi
Sumber: Ikatan Dokter Anak Indonesia

* 0-4 bulan
ASI On demand

* 4-6 bulan (bertahap)
Pukul 06.00 (bangun tidur)
ASI
Pukul 08.00 (makan pagi)
Bubur Susu
Pkl. 10.00
Buah segar/biskuit
Pkl. 12.00 (makan siang)
ASI
Pkl. 14.00 (sebelum tidur siang)
ASI
Pkl. 16.00
Buah segar/biskuit
Pkl. 18.00 (makan malam)
Bubur susu
Pkl. 21.00
ASI
* 6-9 Bulan (Bertahap)
Pukul 06.00 (bangun tidur)
ASI/PASI
Pukul 08.00 (makan pagi)
Bubur→ nasi tim
Pkl. 10.00
Buah segar/Biskuit
Pkl. 12.00 (makan siang)
Bubur→ nasi tim
Pkl. 14.00 (sebelum tidur siang)
ASI/PASI
Pkl. 16.00
Buah segar/biskuit
Pkl. 18.00 (makan malam)
Bubur→ nasi tim
Pkl. 21.00
ASI/PASI
* 9-12 Bulan (Bertahap)
Pukul 06.00 (bangun tidur)
ASI/PASI
Pukul 08.00 (makan pagi)
Nasi Tim→ makanan keluarga
Pkl. 10.00
Buah segar/biskuit
Pkl. 12.00 (makan siang)
Nasi tim→ makanan keluarga
Pkl. 14.00 (sebelum tidur siang)
ASI/PASI
Pkl. 16.00
Buah segar/Biskuit
Pkl. 18.00 (makan malam)
Nasi tim→ makanan keluarga
Pkl. 21.00
ASI/PASI
> 12 bulan
Pukul 06.00 (bangun tidur)
ASI/PASI
Pukul 08.00 (makan pagi)
Makanan Keluarga
Pkl. 10.00
Snack
Pkl. 12.00 (makan siang)
Makanan Keluarga
Pkl. 14.00 (sebelum tidur siang)
-
Pkl. 16.00
Snack
Pkl. 18.00 (makan malam)
Makanan Keluarga
Pkl. 21.00
ASI/PASI

read more...

Resep Makanan Bayi mulai umur 4-5 bulan sampai 1 tahun.

Bubur nasi polos
Nasi yg sudah matang 3 sdm, tambah air secukupnya, rebus hingga menjadi bubur nasi yang halus dan agak kental ( kira-kira 15 menit). Atau, supaya cepat rebus hingga mendidih (kira-kira 5 menit ) kemudian diblender.

Buat bubur nasi ini bisa dalam jumlah besar, disimpan di wadah-wadah yang kecil, kemudian diletakkan di dalam freezer. Kalau mau makan dipanaskan dengan menggunakan microwave atau direndam air panas.

Bubur roti polos
Roti tawar setengah lembar tanpa ada kulit coklatnya. Cabik kecil-kecil, rebus dengan air secukupnya sampai setengah lunak, kemudian dicampur dengan susu formula 30 cc, rebus sampai mendidih dan lunak.

Bubur makaroni polos
Rebus makaroni sampai setengah lunak dengan air panas, kemudian masukkan
susu formula 30 cc, rebus sampai mendidih dan lunak.

Bubur kentang polos
Rebus 1/3 kentang ukuran sedang sampai setengah lunak dengan air panas
kemudian masukkan susu formula 30 cc, rebus sampai mendidih dan lunak.

Bubur cornflake
Rebus 2-3 sdm cornflake sampai setengah lunak dengan air panas, kemudian
masukkan susu formula 30 cc, rebus sampai mendidih dan lunak.

Bubur havermooth
Rebus 2-3 sdm havermooth sampai setengah lunak dengan air panas,
kemudian masukkan susu formula 30 cc, rebus sampai mendidih dan lunak.

Bubur jagung
Kerok biji jagung muda rebus sampai lunak dgn air panas, kemudian campur
dengan susu formula 30 cc, rebus sampai mendidih dan lunak (atau
diblender setelah matang). Setelah itu disaring untuk menghilangkan
kulitnya

Bubur beras merah
Bubur instant beras merah dicampur dengan susu formula 30 cc aduk sampai
rata dan halus.

Bubur kacang hijau
Bubur instant kacang hijau dicampur dengan susu formula 30 cc aduk
sampai rata dan halus.


Untuk Bayi Usia 6-9 bulan

Tim Makaroni

Bahan:

* 300 ml air, kaldu
* 25 g makaroni
* 25 g daging giling
* 25 g tahu, cincang halus
* 25 g wortel, parut halus
* 1 butir kuning telur
* 10 g keju parut


Cara membuat:

* Rebus air bersama makaroni, daging giling, dan tahu. Aduk-aduk sampai kuah mengental.
* Masukkan wortel dan kuning telur. Aduk dan masak sampai matang. Angkat.
* Tambahkan keju parut, aduk rata.
* Sajikan dalam keadaan hangat.

Untuk 1 porsi


Untuk Bayi Usia 9 - 12 bulan

Bahan:

* 600 ml air
* 25 g beras
* 25 g hati sapi/ayam, cincang halus
* 15 g tempe, iris halus
* 15 g daun bayam, iris halus 20 g tomat, iris halus
* 1 sdt mentega tawar


Cara membuat:

* Rebus beras bersama hati sapi/ayam dan tempe. Aduk dan masak sampai menjadi bubur.
* Masukkan daun bayam dan tomat, masak sampai sayuran matang. Angkat.
* Beri mentega, aduk dan hidangkan hangat-hangat.


Untuk 1 porsi



read more...

Selasa, Februari 03, 2009

Orangtua ‘Cerdas’ Pangkal Anak Cerdas



Menangis, manja, dan marah adalah beberapa sikap yang biasa terjadi pada anak. Namun, sikap anak yang patuh, tenang, disiplin, dan berbudi baik adalah beberapa sikap anak yang luar biasa. Sikap baik yang tumbuh dalam diri anak tentu bukan karena kebetulan atau secara tiba-tiba saja terjadi. Beberapa sikap baik yang ada pada diri anak merupakan hasil ’olahan’ orangtuanya. Yaitu, dari pengasuhan yang baik yang biasa mereka lakukan kepada anak tersebut.


Ada beberapa manfaat jika orangtua selalu memiliki kemauan untuk belajar, mencari ilmu dengan membaca buku, mencari informasi di internet, dan bertanya kepada orang yang lebih memahami tentang anak. Pada umumnya, orangtua tersebut akan lebih mudah mendapatkan jawaban atau solusi tentang masalah yang sering terjadi pada anak. Selain itu, orangtua seperti ini biasanya akan lebih mudah dalam mendidik anak. Sebab, di antara mereka sudah terjalin sebuah ikatan batin yang baik, mereka saling percaya, dan saling memahami satu dengan lainnya.

Orangtua ‘cerdas’ adalah orangtua yang selalu menjaga, membimbing, dan mampu menyediakan waktu untuk anak. Sehingga, anak tidak akan pernah merasa bahwa dirinya ditinggalkan dan diabaikan. Walaupun, orangtuanya sibuk atau secara fisik orangtua berada di tempat yang jauh darinya. Namun, anak tersebut akan selalu merasa bahwa orangtuanya selalu berada di dekatnya dan bersedia mendengarkan curahan hatinya (Inayati Ashriyah, 2007).

Orangtua yang ‘cerdas’ akan mampu menciptakan generasi yang pintar, berkualitas, dan berpotensi menjadi seseorang yang sukses. Orangtua yang cerdas dan pintar akan mampu mendidik anak menjadi orang yang cerdas dan pintar juga. Anak yang cerdas akan lebih mudah untuk mencapai sukses. Karena, orangtua dan anak yang cerdas akan lebih mudah melakukan komunikasi. Sehingga, masalah atau sesuatu yang ingin dicapai lebih mudah untuk diutarakan atau didiskusikan

read more...

Anak Sulung Dalam Keluarga

Suatu saat, seorang ayah bertanya pada anak sulungnya, Nak..tahukah kamu kenapa kamu lebih dulu dilahirkan dibandingkan adik-adikmu? Si anak diam walaupun banyak hal yang terlintas dipikirannya. Si Ayah pun tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya. Ia menunggu dan membiarkan anaknya menemukan sendiri jawabannya...


Anak sulung memang biasanya menikmati posisi istimewa dalam keluarga. Boleh dibilang, ia memiliki segalanya, status sebagai yang tertua, perhatian dan kasih sayang penuh dari orang tua, serta memperoleh pengalaman-pengalaman mengasyikkan yang mungkin tidak dinikmati adik-adiknya. Namun ada kalanya posisi sebagai sulung, membuat seorang anak memiliki beban mental yang berat.

Banyak orang tua terlalu memberikan banyak beban pada anak sulungnya. Mulai dari penanaman kedisiplinan, norma-norma tertentu, hingga soal tanggung jawab terhadap adik-adiknya.

Pemberian beban yang berlebihan ini tidak sedikit yang menimbulkan beban psikologis pada anak sulung. Terlebih bila mereka tidak bisa mewujudkan harapan orangtuanya.

Di antara anak dalam suatu keluarga, anak sulung memang menempati posisi yang istimewa. Kelahirannya biasanya sangat ditunggu-tunggu oleh kedua orang tuanya. Juga oleh kakek neneknya, apalagi kalau ia merupakan cucu pertama dalam keluarga. Ia bisa memiliki segalanya, mulai dari status anak sulung, perhatian serta kasih sayang penuh dari orangtua dan orang sekitarnya.

Hubungan anak sulung dengan orang tuanya sangat istimewa dan unik, penuh dengan keajaiban, kesenangan, kecemasan serta perasaan yang begitu kompleks. Dalam beberapa hal orang tua belajar untuk mengatasi persoalan anak bersamaan dengan pertumbuhan anak sulungnya.

Sikap orang tua terhadap anak sulung mulai berubah ketika adiknya lahir. Sedikit banyak perhatian mereka mulai beralih ke bayi yang baru lahir. Perubahan ini tentu kurang menyenangkan bagi anak sulung yang selama in menikmati hak-hak istimewanya. Karena itu tidak sedikit anak sulung yang bersikap ‘benci’ setengah mati pada adiknya yang dianggap telah merebut perhatian orang tua mereka.

Untuk mengatasi hal tersebut, orang tua harus jauh-jauh hari mempersiapkan mental anak untuk menghadapi kelahiran adiknya. Berkurangnya perhatian dan sikap orang tua yang mulai berubah, serta banyak tuntutan untuk si sulung. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk memberi contoh yang baik kepada adik-adiknya.

Hal ini jelas menimbulkan beban psikologis tersendiri pada sang anak. Semoga saja sulung anda dapat memenuhi semua harapan orang tua. Tetapi jangan kecewa bilang anak tidak berhasil, karena anak pun akan merasa bersalah. Keadaan seperti itu membuat anak sulung memiliki sifat lebih serius, disiplin dan bekerja keras daripada adiknya.

Jadi, alangkah baiknya jika tanggung jawab, kesempatan, dan hak yang diberikan pada setiap anak dalam keluarga diberikan secara proporsional dan adil. Sehingga setiap potensi yang ada dalam keluarga dapat berkembang optimal...

read more...

Yang Dibutuhkan Anak dari Ortu


Saat ini semakin jarang orang tua yang mau menghabiskan wakunya bersama-sama keluarga sebagai akibat kesibukan pekerjaan. Dalam sebuah survei yang dilakukan terhadap 100.000 anak-anak, apa yang mereka paling inginkan dari orang tua mereka? Berikut 10 jawaban yang dapat dijadikan evaluasi bagi para orang tua:

1. Anak-anak ingin orang tua mereka tidak bertengkar didepan mereka. Anak-anak cenderung melakukan apa yang orang tuanya lakukan, tidak pada apa yang mereka katakan. Bagaimana anda mengatasi perbedaan ini? Apakah anda tidak setuju anak melihat pertengkaran anda menyerang orang lain atau mempertahankan diri sendiri?

Hati-hati apabila orang tua melakukannya, kemudian anak-anak akan belajar bagaimana mengatur marah dan menyelesaikan konflik dengan cara yang orang tua contohkan.

2. Anak-anak ingin orang tua memperlakukan setiap anggota keluarga sama. Memperlakukan anak sama bukan berarti memperlakukan mereka sama rata. Setiap anak memiliki keunikan dan masing-masing membutuhkan kasih sayang dan pengertian yang sama. Evaluasi hubungan orang tua dengan setiap anak.

3. Orang tua yang jujur. Pernah anda para orang tua mengatakan sesuatu yang tidak jujur pada anak-anak? Orang tua mungkin tidak menyadari apa yang ia tengah contohkan pada anak-anaknya. Apakah orang tua mengatakan apa yang ia maksud adalah apa yang ia katakan?

4. Orang tua yang toleran pada orang lain. Ketika orang tua toleran pada orang lain, anak-anak akan belajar sabar dengan siapa aja yang berbeda dengan mereka. Dalam cara apa orang memberi contoh toleransi pada anak?

5. Orang tua yang ramah pada teman-teman mereka ketika berkunjung ke rumah. Jika pengelompokan terjadi di rumah, kemudian orang tua akan tahu dimana anak-anak berada. Pererat kebijakan pintu terbuka dan mengenal teman-teman mereka.

6. Orang tua yang membangun semangat bersama dengan anak-anak. Ketika anak-anak masuk dalam usia remaja, orang tua yang memperat semangat bersama akan memiliki pengaruh lebih besar pada anak mereka.

7. Orang tua yang mau menjawab pertanyaan anak. Pernahkah orang tua merasa bersalah ketika mengatakan, sekarang ayah/ibu sibuk, kita bicaranya nanti saja. Kemudian nanti juga tidak pernah. Sisihkan waktu untuk menjawab pertanyaan anak dan ketika orang tua tidak mengetahui jawaban, akui dan menawarkan untuk mencari jawabannya.

8. Orang tua yang menanamkan disiplin ketika dibutuhkan tetapi tidak dihadapan orang lain. Jangan menanamkan disiplin dihadapan orang lain terutama teman-temannya. Anak-anak menginginkan batasan tetapi jarang tua harus tahu kepan dan dimana menanamkan disiplin.

9. Orang tua yang konsentrasi pada hal yang baik alih-alih sesuatu yang lemah. Lihat anak-anak sebagai puzzle potongan gambar yang tidak komplit dan konsentrasi pada membangun menjadi gambar yang indah alih-alih menghilangakan potongan gambar tersebut. Buat daftar kelebihan-kelibihan anak anda dan cari waktu yang tepat untuk menunjukkanya pada mereka.

10. Orang tua yang konsisten. Orang tua seringkali tidak konsisten tetapi berusahalah untuk konsisten. Keadaan tidak konsisten dapat merusak anak-anak. Anak-anak harus tahu cinta dan batasan anda konsisten sehingga akan muncul rasa percaya pada orang tua.


read more...

Perbedaan Anak Laki-laki dengan Anak Perempuan


Mengasuh anak perempuan dengan anak laki-laki tentu berbeda. Oleh karena itu, supaya orangtua lebih mudah menyesuaikan dalam memenuhi kebutuhan yang diperlukan anak maka penting bagi orangtua mengetahui karakter dasar antara anak laki-laki dan anak perempuan .


Di bawah ini adalah beberapa perbedaan sederhana yang dimiliki oleh anak laki-laki dan anak perempuan (John Gray, Ph.D., 2004), yaitu:

Anak laki-laki

1. Anak laki-laki butuh lebih banyak cinta, perhatian, dan penghargaan mengenai apa yang mereka lakukan, kemampuan mereka untuk melakukannya tanpa bantuan dan perbedaan yang mereka buat.
2. Anak laki-laki butuh dikagumi atas apa yang mereka lakukan secara lebih baik. Akuilah apa yang mereka lakukan.
3. Anak laki-laki lebih butuh dimotivasi dan diberi semangat.
4. Anak laki-laki paling bahagia bila merasa dibutuhkan dan dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan. Ia menjadi sedih kalau ia merasa tidak dibutuhkan atau tidak mampu menyelesaikan tugas yang dihadapinya.
5. Anak laki-laki terutama butuh dipercaya, diterima, dan dihargai agar menjadi penuh kepedulian dan termotivasi.



Anak perempuan

1. Anak perempuan butuh lebih banyak cinta, perhatian, dan pengakuan mengenai siapa mereka itu, apa yang mereka rasakan, dan apa yang mereka inginkan.
2. Anak perempuan butuh lebih disayangi. Pujilah siapa dia itu.
3. Anak perempuan lebih butuh bantuan dan diyakinkan kembali.
4. Anak perempuan paling bahagia kalau ia merasa dapat memperoleh dukungan yang dibutuhkan. Ia sedih kalau ia merasa tidak dapat memperoleh dukungan itu dan terpaksa melakukan sendiri semuanya.
5. Anak perempuan terutama butuh dipedulikan, dihormati, dan dimengerti agar menjadi penuh kepercayaan dan perhatian.

read more...

Hukuman Dapat Menghambat Kreativitas Anak



Sering kali tanpa disengaja tiba-tiba anak menyenggol gelas atau piring yang ada disekitarnya hingga pecah. Menyaksikan kejadian seperti itu mungkin ada sebagian orangtua yang langsung memarahinya. Mereka seolah-olah tidak mau tahu bahwa kejadian itu adalah karena ketidaksengajaan, mereka berharap anak tahu pada apa yang akan terjadi ketika sedang melakukan sesuatu.


Merasa kecewa dan marah karena barang kesayangan rusak atau pecah adalah wajar. Namun, meluapkan kemarahan itu kepada anak yang masih kecil dan belum memahami artinya mahal atau murah adalah tidak bijaksana. Anak belum bisa membedakan antara tindakan yang disengaja atau yang disengaja. Oleh karena itu, orangtua sebaiknya bersikap tidak emosional. Perlu diingat kembali bahwa manusia apalagi seorang anak pasti pernah berbuat salah. Oleh karena itu, orangtua bijak pasti akan menanggapi kesalahan yang dilakukan anak dengan penuh maaf. Yakinlah bahwa sesungguhnya kejadian tesebut adalah karena ketidaksengajaan anak.


Dalam kehidupan sehari-hari ada baiknya justru orangtua dapat memberikan contoh kepada anak bahwa suatu kesalahan itu adalah wajar, sesekali mungkin saja terjadi. Dengan demikian, anak tidak akan merasa takut untuk mencoba sesuatu, takut dimarahi atau dihukum apabila ia melakukan suatu kesalahan. Memarahi dan menghukum setiap kesalahan anak dapat menghambat kreativitas anak. Daripada harus sering menghukum anak, lebih baik orangtua bersikap lebih bijaksana misalnya selalu menyimpan barang pada tempat yang lebih aman dan selalu berusaha membimbing anak supaya ia dapat bersikap hati-hati dan bertanggung jawab. Contoh kasus, tidak memajang barang pecah belah di rumah secara berlebihan ketika anak-anak masih kecil, karena kemungkinan pecah tersenggol atau tertendang akan besar peluangnya. Selain itu, untuk mengajarkan anak supaya ia belajar memisahkan antara tempat bermain dan tempat untuk beristirahat, maka orangtua dapat mengajak anak untuk melanjutkan bermain sepak bola di halaman rumah .


Hindarkan memarahi atau menghukum anak karena kesalahannya. Menghukum atau memarahi anak merupakan cara komunikasi yang sudah ketinggalan zaman. Reaksi yang paling baik terhadap kesalahan anak adalah pandangan bosan atau netral. Jangan mencurahkan banyak perhatian pada kesalahan anak, tetapi arahkan anak kembali dengan memintanya melakukan sesuatu. Misalnya, pada kasus anak memecahkan gelas, maka mintalah anak untuk membantu orangtua membersihkan pecahan gelas tersebut, tidak lantas anak dimarah dan disuruh menggantinya (John Gray, Ph.D, 2004).

read more...

Sex Education for Young Children


Although sex education is usually taught in school, parents are a child’s best source for sex education. Parents are also usually the first source of information for a child’s questions about sex. Very often, children begin to ask about sex long before parents imagine they will. It is a good idea for parents to give some thought about what they will say about sex and when, before children begin to ask questions. Parents should keep in mind that a child’s curiosity about sex is normal and healthy. Sex education: where to start? Child-friendly books about sex education can help parents decide when, and what, they are going to tell their children about sex. Books can also offer guidance for parents on how to go about talking about sex with their kids. Many books are written for children and parents to read together. This is s great way to begin an ongoing dialogue about sex with children. Dialogue about sex There are many benefits to beginning an ongoing dialogue between parents and their young children about sex. Many experts agree that this is the best strategy a parent can have when it comes to teaching their kids about sex. Parents should be honest and not overload the child with information. Parents should also keep the discussion at a level the child can understand and can begin by asking what the child already knows.
*
Parents can include their family’s values in any discussion about sex. For example, during a discussion about intercourse, parents can let their kids know that sex is for marriage, if that is what they believe.
* Kids are less likely to believe incorrect information they hear if they have already heard the right information from parents.
*
Many schools have inadequate time for instruction on sex and reproduction issues. By having a dialogue, parents can make sure their kids have all the information they need.
* Having an on going dialogue about sex lets parents avoid having to give a big "bird’s and the bees" talk all at once when the child is older.
* Honest dialogue between parents and kids helps promote honesty, trust and respect in general. Having this sex-ed dialogue will encourage older children to be more open with their parents about other, sometimes troubling, adolescent issues.

A child’s sexual curiosity


Most children develop a healthy sexual curiosity by age 3 or 4. They usually ask a variety of questions and need honest, brief answers.
Some children may be curious but not ask about sex. If a child of 4 has not asked about sex, parents should start asking the child questions. Examples from nature and reproduction in general may help. For example, parents can spot birds chasing each other and ask the child what he thinks they are doing. Parents can then use this opportunity to explain where babies come from. Parents should teach their children the proper names for all body parts. Parents could begin by explaining reproduction using animals as an example. Then they can explain about human reproduction. At first, kids generally don’t need to know all the details but it is important that they understand the basics. As they get older and the conversations continue, more details can be added. Children should also learn about love and affection. This can be best understood by example. Let your child see warm hugs and friendly kisses between parents and other family members. Children should understand that physical affection can be expressed in many ways and is a part of sexuality. Normal sexual play It is common for children to play games of sexual exploration. Playing "doctor" or "house" might be a part in this exploration. Sexual play between children is normal and is generally not something to be worried about. If the games involve some form of coercion, for example one child making another do something they do not want to do, this can be a sign of worry. Children get their behavioural and emotional cues from the adults around them, mostly the parents. If parents react dramatically to their child’s sexual play, it can send the wrong message to the child and the activities may continue but in secret. If parents know that their child has engaged in games of this type, they should speak to them about it without judgment. Always continue the dialogue. Privacy and modesty Children usually need to be told that there is a time and place for everything.

Parents should tell their children :
* That exposing themselves in public is not acceptable
*
That no adult or older child should touch their genitals
*
If they want to touch their own genitals, they should do this in private
*
They should never make another child do something they are uncomfortable doing

Nudity and your child

Nudity in the family home is a matter for each family to decide. Some parents cover themselves and their children up at an early age. Some parents do not.
If covering up is not a routine around the house, children should understand that this is not the case for other places outside the home such as in school or in public. It is also important for parents to realize that while they may be comfortable with nudity, their child as he/she develops may not be.

Be aware of their feelings.
If being nude around the house is not acceptable, as the child grows, parents should :
* Stop showering and bathing with the child
*
Close the bathroom door when using the toilet and suggest that the child do the same.
*
Close the bedroom door when dressing and suggest that the child do the same.

Sexual molestation
Children should be told that no older person, including an older child, should touch them in the genital area. They should also understand that if someone tries to do this, they should immediately tell a parent or other caregiver right away regardless of what the person has told them. Children should have a realistic view of the society they are growing up in. Some people are kind and gentle while others are not. This information should be explained in such a way as not to alarm the child. Parents should teach basic "street smarts" to their children.

Going over different situations by asking "what would you do if…?" is a good way to start.
When should you call your child's health care provider? Call your child's physician during office hours if :
* your child won't stop touching other children's genitals
*
your child won't stop exposing his genitals
* your child has an excessive interest in sex or nudity
* you have other questions or concerns

read more...

Senin, Februari 02, 2009

My Children, My Teachers

I never had any doubt about how I was going to feed my babies. Of course I was going to nurse them! What I don't know is where my initial determination and enthusiasm came from. Neither my mother nor my grandmother nursed and it wasn't as if I had grown up seeing women breastfeed. In fact, I can't recall a single instance during my childhood in which I saw a woman put a baby to her breast.

Most of what I knew about breastfeeding wasn't as relevant to me personally, as it was politically. In college I had read about the causes of malnutrition in the developing world and the insidious efforts of multinational corporations to convince women that formula was superior to breastmilk. So even though I would have access to clean water, refrigeration and money to pay for formula, I wanted nothing to do with formula. Moreover, I thought of my body's ability to bear and nourish children as a great source of power and pride. Why would I let some company rob me of that or convince me that my milk was inferior? Nursing was actually the one aspect of having a newborn that I was most looking forward to. I would put my baby to my breast and voila! She would nurse. Moreover, I was prepared to nurse my child wherever and whenever necessary. I believed strongly ­ and still do - that breastfeeding needed to become more visible and would only become the cultural norm when nursing mothers come out of the nursery.

Now, years later after having nursed two children, I realize how incomplete my understanding of breastfeeding was. My first epiphany was that nursing does not always happen easily. My initiation into motherhood was built around a baby who adamantly rejected my breast for almost six, grueling weeks. It involved a brief but scary bout of newborn dehydration, supplementing my incipient milk supply with a soy-based formula, (causing me to become less dogmatic) and expressing my milk every three hours around the clock with an electric pump. I spent many days in tears, wondering if I would ever be able to nurse her at all.

With the help of a supportive family and a dedicated and smart lactation consultant, my daughter finally began to nurse. At first we could only do so in one position requiring no less than four pillows. But gradually my daughter and I learned together and we became more confident, carefree and flexible. I'll never forget the night I awoke to discover her latched on to my breast, eyes closed, cheeks gently moving in and out. Bliss.

The second thing I learned is that there is no single or correct way to nurse and there is no "right" way to feel about nursing.

Perhaps the most important thing I learned, though, is that breastfeeding is not simply a matter of providing nutritional and immunological benefits to one's child and it encompasses many things that are difficult, if not impossible, to learn in a "how-to" book. I had to discover on my own that nursing can really be about how we mother our children.

My experiences have strengthened my resolve to work toward creating a culture in which breastfeeding is the norm. But I also realize that each woman must feed her children based on the unique circumstances of her life. Nursing in a formula-feeding culture isn't always easy ­ it sometimes requires strength, determination, and tenacity ­ not qualities typically used to describe nursing mothers. But for me, the journey was well worth it!

Barbara L। Behrmann, Ph।D. is a writer, researcher, and author of The Breastfeeding Café: Mothers Share the Joys, Secrets & Challenges of Nursing, University of Michigan Press, 2005. She is a frequent speaker around the country and is available for talks, readings, and conducting birthing and breastfeeding writing circles. The mother of two formerly breastfed children, Barbara lives in upstate New York. Visit her website at www.breastfeedingcafe.com.

read more...

Tips Anak Belajar Hidup Teratur


Mungkin kita selama ini sudah mengetahui bahwa hidup yang teratur, artinya tertata dengan baik, adalah kunci kesuksesan di kehidupan sehari-hari. Agenda hidup yang baik bisa berefek positif di mana pun kita berada, baik itu di kantor maupun di sekolah. Beruntunglah Anda yang secara alami sudah mempunyai sifat senang menata segala sesuatu dengan baik dan teratur. Bagaimana dengan anak Anda? Apakah mereka juga senang menjalani hidup dengan rapih? Kalaupun belum menyukai, Anda jangan kuatir. Anda dapat membantu mereka belajar untuk hidup lebih teratur dengan sepuluh langkah di bawah ini.

1. Mulailah dari daftar pekerjaan

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah membantu si kecil membuat daftar pekerjaan yang akan dilakukan hari ini. Anda berdua dapat menggunakan daftar untuk mengecek tugas, pekerjaan rumah dan hal-hal lainnya yang harus dibawa ke sekolah misalnya. Sebaiknya daftar tersebut ditulis dalam sebuah buku atau notes tersendiri. Mencoret atau memberi tanda pada suatu pekerjaan yang telah dilakukan dapat memberikan kepuasan tersendiri pada si kecil.

2. Mengatur Pekerjaan Rumah

Sebelum memulai pekerjaan rumah, ajak anak Anda untuk mengatur dahulu dengan memberi nomor pada setiap pekerjaan rumah yang ada. Pemberian nomor ini berguna untuk menentukan pekerjaan mana yang harus dikerjakan terlebih dulu. Sebaiknya mulailah dari tugas yang tidak terlalu panjang atau susah dulu, tapi hindari meletakkan tugas yang terlalu berat di urutan terakhir.

3. Merancang ruang belajar

Buatlah tempat belajar yang nyaman sehingga si kecil tidak perlu berpindah-pindah tempat untuk belajar. Lokasi belajar juga tidak selalu harus di kamar tidur, yang terpenting tempat tersebut harus cukup tenang dan jauh dari kegiatan-kegiatan yang mungkin dapat menganggu konsentrasi. Usahakan agar perkakas belajar selalu berada dalam jangkauan. Lebih baik lagi kalau si kecil mau belajar dengan didampingi Anda, karena dengan begitu Anda dapat memantau aktifitasnya sekaligus memberinya semangat.

4. Menetapkan waktu belajar

Sediakan selalu waktu khusus untuk belajar setiap hari. Sebaiknya beberapa jam setelah anak Anda pulang sekolah sehingga dia bisa beristirahat dan memulihkan tenaga. Jangan lupa untuk melibatkan si kecil dalam pemilihan waktunya. Apabila tidak ada pekerjaan rumah, waktu khusus tersebut dapat diisi untuk membaca ulang pelajaran sekolah tadi pagi, membaca santai atau mengerjakan proyek sekolah berikutnya.

5. Menyimpan catatan yang rapih

Bantulah si kecil mengatur dan menyimpan catatan pelajarannya dalam sebuah buku atau binder. Pisahkan pada setiap mata pelajarannya dengan kertas pembatas, atau gunakan buku tersendiri untuk setiap mata pelajarannya. Sebaiknya simpan pada folder yang terpisah mana tugas yang akan dan sudah dikerjakan, demikian pula halnya dengan lembar ulangan yang sudah diberi nilai.

6. Biasakan 'sweeping' setiap minggu

Ajak si kecil untuk menyortir isi tas dan lemari setiap minggunya. Kumpulkan lembar-lembar tugas dan ulangan serta catatan dalam folder yang terpisah.

7. Buat jadwal kegiatan di rumah

Cobalah untuk membuat jadwal makan dan tidur yang rutin sehingga anak Anda secara langsung akan terbiasa dengan pola yang teratur. Anak yang mempunyai waktu tidur baik akan mempunyai tenaga yang cukup untuk ke sekolah esok harinya. Usahakan pula untuk membatasi waktu menonton televisi dan bermain games.

8. Buatlah kalender keluarga

Kalender keluarga akan sangat berguna untuk menyimpan segala macam jadwal aktifitas seluruh anggota keluarga, mulai dari jadwal kegiatan ekstra kurikuler, liburan sekolah, ulangan umum sampai kegiatan besar keluarga atau sekolah. Agenda terbuka ini akan membantu seluruh anggota keluarga untuk mengecek kegiatannya masing-masing, dan yang terpenting menghindari konflik akibat benturan alokasi waktu yang bersamaan.

9. Siapakan esok hari dengan terencana

Sebelum anak Anda pergi tidur, biasakan untuk menyiapkan terlebih dahulu tugas dan buku yang harus dibawa keesokan harinya. Begitu juga dengan pakaian yang akan dipakai beserta asesoris dan kaos kaki yang akan dikenakan. Persiapan yang matang akan membuat si kecil dapat pergi ke sekolah lebih cepat dan dini tanpa harus tergesa-gesa.

10. Bantulah terus anak Anda belajar hidup teratur

Supaya si kecil menjadi terbiasa hidup teratur cobalah tempel salinan daftar pekerjaannya, seperti yang disebutkan di no.1, pada pintu lemari es. Otomatis dia akan selalu teringat terus akan apa yang harus dikerjakan. Ingatkan dengan lembut untuk selalu menyimpan rapih segala macam lembar tugas, catatan dan ulangan dalam folder tersendiri. Terakhir, berikan si kecil contoh yang baik, yaitu dimulai dari Anda sendiri.

read more...

Tidak Ada Anak 'Bodoh'


Anak yang memiliki nilai kurang dalam suatu mata pelajaran misalnya matematika atau bahasa, belum tentu ia 'kurang' dalam hal lain. Hindarkan tergesa-gesa mencap 'bodoh' pada anak. Menurut teori gardner 1983, pada diri anak terdapat kemampuan lain yang dapat digali oleh pendidik (orangtua dan guru) yaitu, kecerdasan bahasa, matematika, kinestetik, musik, spasial, intrapersonal, interpesonal, dan naturalis.

Di bawah ini adalah beberapa upaya yang dapat orangtua atau guru lakukan untuk menggali kemampuan kecerdasan anak, yaitu:

1. Kecerdasan Linguistik atau Bahasa

1. Kenalkan anak pada buku-buku cerita bergambar.
2. Bacakan dongeng dan suruh anak untuk mengulang isi dongeng terebut.
3. Mintalah anak untuk menceritakan pengalamannya di sekolah atau tempat bermainnya.

2. Kecerdasan Logis Matematis

1. Mengenalkan bentuk angka, penjumlahan dan pengurangan ringan misalnya berhitung dengan jari atau mainan angka
2. Berikan anak permainan yang memerlukan pemikiran, seperti ular tangga
3. Ajaklah anak melakukan eksperimen dengan benda padat seperti es bisa berubah menjadi air.

3. Kecerdasan Spasial

1. Untuk melatih imajinasi anak, biasakan ia mendengarkan dongeng tanpa gambar misalnya di radio.
2. Beri permainan yang dapat mengasah kecerdasan spasialnya seperti puzzle atau menggambar sesuai dengan minatnya.
3. Latih anak ntuk membayangkan suatu benda dengan menutup matanya.

4. Kecerdasan Kinestetik Jasmani

1. Libatkan dalam kegiatan atau pemainan yang membutuhkan aktivitas fisik seperti main tali, mengikat tali sepatu atau masukkan dalam klub olah raga.
2. Latih gerak motoriknya misalnya melepas kancing pakaian,membentuk tanah liat dan membangun sesuatu dengan balok-balok.

5. Kecerdasan Musik

1. Ajak anak untuk mengubah syair lagu.
2. Menghafal lagu-lagu yang sesuai dengan usianya.
3. Motivasi anak agar masuk klub musik.
4. Perkenalkan dengan alat-alat musik tertentu.

6. Kecerdasan Interpersonal

Agar tumbuh sikap empati ajaklah anak menengok keluarga yang terkena musibah.
1. Mengajarkan utuk berbagi dengan saudara ataupun teman (misalnya makanan).
2. Membangun kepercayaan diri anak misalnya dengan mengikutsertakan anak dalam berbagai lomba atau tampil di depan umum misalnya di ulang tahun temannya.
3. Membiasakan anak untuk menyapa atau memberi salam pada orang lain terlebih dahulu.

7. Kecerdasan Intrapersonal

Tanyakan sesering mungkin tentang perasaan anak anda jika ekspresi wajahnya terlihat berubah.
1. Berikan pekerjaan yang bisa dikerjakan sendiri oleh anak misalnya mewarnai gambar atau merapikan piring-piring plastik.
2. Bimbing anak agar mengenali dirinya sendiri seperti menggambar wajah tentang kondisi perasaannya (wajah sedih, gembira, marah).

8. Kecerdasan Naturalis (Alam)

1. Ajaklah anak untuk melakukan kegiatan di luar rumah seperti berkebun, menyiram tanaman, melihat serangga.
2. Kenalkan benda-benda alam yang ada di sekitarnya seperti batu, daun atau nama berbagai jenis tanaman).
3. Biarkan anak memelihara binatang seperti kucing, hamster (semacam marmut), ikan, kura-kura.
4. Ajaklah anak untuk menonton film flora dan fauna.

Sumber : perkembangananak.com

read more...

Faktor Pendukung Kecerdasan Anak



Anak yang cerdas bukan hanya karena faktor keturunan, banyak hal lain yang bisa medukung anak menjadi pintar. Faktor-faktor pendukung kecerdasan anak itu antara lain dapat diasah dan dibentuk dari dalam diri anak atau dari hasil didikan orang tua. Di bawah ini beberapa contoh yang mendukung kecerdasan anak tersebut:

1. Motivasi

Motivasi adalah bagaimana cara orang tua untuk memberi semangat kepada anak agar mereka mau belajar, karena tanpa hal tersebut maka anak akan menjadi pribadi mudah menyerah dan putus asa sehingga anak menjadi malas untuk belajar.

2. IQ (intelectual Quotient)

Adalah kemampuan seorang anak untuk belajar menggunakan kepintaran otak kiri dan kanannya. Setiap anak mempunyai IQ yang berbeda tergantung dari latihan-latihan dan kemampuan otak nya untuk menyerap pelajaran yang masuk.

3. EQ (Emotional Quotient)

Adalah kemampuan seorang anak untuk mengusai dirinya dan dapat mengendalikan emosi sehingga memiliki kemampuan untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain dan lingkungannya.

4. Kecerdasan visual

Adalah kemampuan seorang anak untuk menuangkan apa yang ada dalam pikirannya kedalam bentuk kreatifitas, misal: Menggambar, mewarnai

5. Faktor lingkungan

Karena lingkungan yang baik dan positif baik dirumah dan sekolah dapat memberikan pengaruh terhadap kepribadian dan perilaku anak untuk membantu mereka mengembangkan kecerdasannya.

6. Kecerdasan berkomunikasi

Melatih anak dalam berkomunikasi yang baik dapat membuat anak belajar dan berani dalam menuangkan pikiran dan gagasanya dalam bentuk kata-kata sehingga dapat melatih anak memiliki kepercayaan diri bila bicara di depan umum. Orangtua dapat memberikan contoh dengan berbicara yang baik dan sopan kepada anak.

7. Makanan bergizi

Orang tua yang memberikan anak gizi yang baik dengan memenuhi makanan 4 sehat 5 sempurna tentu akan membuat anak memiliki tubuh yang kuat,sehat dan perkembangan otak yang sempurna sehingga anak menjadi pintar.

8. Membaca

Memberikan anak buku-buku yang bermanfaat dapat menambah pengetahuan dan wawasannya dan juga melatih anak senang membaca.

9. Kemampuan bersosialisasi

Jangan melarang anak untuk bermain, karena dengan bergaul dengan teman-temannya anak melatih kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang sehingga medapat mendukung keberhasilannya di masa depan.lain

10. Kecerdasan Perilaku

Seorang anak yang diajarkan untuk berperilaku yang baik dan sopan juga melatih anak untuk menghormati dan menghargai orang lain sehingga anak menjadi pribadi yang menyenangkan bagi orang-orang disekitarnya. Selain semua itu dukungan dan perhatian dari orang tua adalah faktor yang sangat penting dalam membentuk kecerdasan anak, kembangkan kecerdasan anak dari berbagai cara yang positif demi keberhasilan anak dimasa depan.

read more...

Ajari Si Kecil Keterampilan Berpikir



Dulu Anda mungkin beranggapan anak balita baru dapat berpikir dan membentuk ide yang kompleks setelah ia bisa berbicara. Namun, ternyata sejak usia dini anak sudah sadar akan keadaan di sekelilingnya, dan tertarik untuk mengembangkannya.

Penelitian yang dilakukan para ilmuwan di berbagai bidang memperlihatkan, sejak usia satu minggu bayi sudah
menjadi pendengar aktif, lho! Bayi sibuk mengumpulkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunianya. Kejadian penting ini menyoroti kemajuan anak-anak dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan memberi tanggapan.

Peristiwa Penting Yang Perlu Diperhatikan
Usia: 0 – 3 bulan
# Bayi yang baru lahir langsung menggunakan dan mengintegrasi kepekaannya
dalam mengembangkan dunianya. Sebagian besar bayi bahkan sudah dapat melihat secara jelas sampai jarak 15 cm.
# Memusatkan perhatian dan mengikuti obyek yang bergerak, termasuk wajah manusia.
# Melihat semua warna dan membedakan warna dan cahaya.
# Membedakan nada dan besar kecilnya suara.
# Membedakan rasa manis, asam, pahit, dan asin.
# Memberi respons dengan ekspresi muka terhadap bau yang menyengat.
# Lebih menyukai benda berbetuk sangat kontras dan geometris.
# Mulai mengantisipasi sejumlah kejadian (misalnya, ngedot saat melihat dot).

Usia 3 – 6 bulan
# Kemampuan
persepsi bayi jadi lebih baik. Di usia ini bayi mulai bisa mengenali wajah.
# Membedakan setiap orang berdasarkan cara orang melihat, berbicara, atau merasakan.
# Bereaksi dan menirukan ekspresi wajah orang.
# Memberi respons terhadap suara yang sudah dikenal.

Usia 6 – 9 bulan
# Dengan menggunakan metode penelitian bakat, para ilmuwan telah menemukan, sejak dini bayi mulai melihat secara tersamar bagaimana dunia bekerja. Bahkan bayi telah mampu menemukan cara menatap lebih lama pada sejumlah kejadian yang “tidak mungkin” (seperti obyek-obyek yang tertahan di udara).
# Membedakan antara benda hidup dan benda mati, serta mengerti benda mati harus digerakkan oleh kekuatan dari luar.
# Membedakan gambar-gambar yang memperlihatkan angka-angka berbeda.
# Menggunakan benda dengan ukuran berbeda sesuai dengan bentuknya.

Usia 9 – 12 bulan
# Begitu anak mulai tumbuh berkembang, ia terus mengembangkan bagaimana dunia bekerja dan mulai membentuk konsep gambaran langkah-langkah di atas. Pada usia ini, sebagian besar bayi bisa mengerti, sebuah benda tetap ada walaupun tak terlihat.
# Memberi respons pada arahan sederhana dan bertanya dengan gerakan, suara, juga kata-kata.
# Meniru gerakan dan tindakan.
# Bereksperimen dengan maksud tertentu, misalnya dengan melihat bagaimana suatu benda bisa masuk ke dalam kotak atau bagaimana jika kotak itu dibalik.
# Senang melihat gambar-gambar di dalam buku.

Usia 1 – 2 tahun
# Anak-anak di usia ini menghabiskan banyak waktu dalam mengamati dengan sungguh-sungguh dan menirukan gerak orang dewasa. Sebagian besar dapat menirukan gerakan dan ucapan orang dewasa.
# Mengerti kata-kata dan perintah, juga memberi respons secara tepat.
# Mulai mencocokkan benda-benda yang serupa.
# Mengenali dan mengidentifikasi benda-benda di dalam buku dengan bantuan orang dewasa.
# Membedakan antara ‘kamu’ dan ‘saya’.

Usia 2 – 3 tahun
# Mendapat banyak pengetahuan yang dikembangkan oleh dirinya sendiri. Sebagian besar anak dapat memberi respons terhadap arahan yang sederhana.
# Memilih gambar-gambar di dalam buku, menyebut nama benda pada gambar, dan mengidentifikasi beberapa benda pada satu gambar.
# Mengelompokkan benda berdasarkan kategori.
# Menyusun blok atau benda berdasarkan ukurannya.
# Mengidentifikasi dirinya di cermin, dengan menyebut namanya sendiri.
# Menceritakan kepada orang lain apa yang ia lakukan.
# Memperhatikan dan menirukan gerakan orang dewasa yang lebih kompleks (misalnya, memainkan pekerjaan rumah tangga: menyapu, mengelap).

Usia 3 – 4 tahun
# Dengan bertambahnya pengalaman anak-anak, kekuatan analitisnya pun tumbuh. Ia memperhatikan dan secara mental memilah benda-benda menurut sifat fisiknya. Dan kini sebagian besar anak dapat mengerti konsep seperti mengelompokkan dan memadukan (misalnya, mengenali dan mencocokkan warna).
# Mengatur alat-alat tanpa dibantu, misalnya menyusun blok-blok atau gelang-gelang sesuai ukurannya.
# Mengidentifikasi bagian dari keseluruhan benda, seperti potongan kue.
# Menggambar, menyebutkan, dan menjelaskan secara pendek gambar yang dikenalnya, yang mempunyai arti baginya.
# Secara aktif mencari informasi melalui pertanyaan-pertanyaan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’.
# Mengatakan kepada orangtuanya nama lengkap dan usianya.
# Mengikuti kegiatan dalam rentang waktu yang lebih lama (antara 5 dan 15 menit).
# Belajar, dengan memperhatikan dan mendengarkan penjelasan orang dewasa.
# Memperlihatkan pengertian waktu lampau dan saat sekarang.

Usia 4 – 5 tahun
# Di usia ini, anak-anak secara aktif mencari informasi dan pengalaman baru dari orang-orang di lingkungannya. Sebagian besar dapat bermain dengan kata-kata, memberikan mimik, menciptakan suara-suara, dan membuat irama.
# Menunjukkan sesuatu dan nama dari berbagai warna.
# Mengerti perintah dan proses sesuatu.
# Menggambar orang secara detail.
# Menggambar, memberi nama, dan membuat gambar-gambar.
# Menghitung sampai 5.
# Mengatakan kepada orangtuanya nama jalan dan kota tempatnya tinggal.

read more...

The Good and Bad Effects of TV on Your Kid


It is hard to avoid television if you are a kid. People in the house are usually tuned in to TV - siblings as well as parents. In some homes, the television is perpetually "on" even without anyone watching. It is common for parents and caregivers to use TV as a substitute babysitter. Also, many parents buy videos that they think can make their kids smart. But how does watching TV really affect children ?

The bad news is, the majority of experts think that a TV/video-driven culture has bad effects on kids and may prevent kids from being smart. They cite the following:

* TV viewing takes away the time that your child needs to develop important skills like language, creativity, motor, and social skills. These skills are developed in the kids’ first two years (a critical time for brain development) through play, exploration, and conversation. Your kid’s language skills, for example, do not improve by passively listening to the TV. It is developed by interacting with people, when talking and listening is used in the context of real life.

* TV viewing numbs your kid's mind as it prevents your child from exercising initiative, being intellectually challenged, thinking analytically, and using his imagination.

* TV viewing takes away time from reading and improving reading skills through practice (Comstock, 1991). Kids watching cartoons and entertainment television during pre-school years have poorer pre-reading skills at age 5 (Macbeth, 1996). Also, kids who watch entertainment TV are also less likely to read books and other print media (Wright & Huston, 1995).

* According to Speech and language expert Dr. Sally Ward, 20 years of research show that kids who are bombarded by background TV noise in their homes have trouble paying attention to voices when there is also background noise.

* Kids who watch a lot of TV have trouble paying attention to teachers because they are accustomed to the fast-paced visual stimulation on TV. Kids who watch TV more than they talk to their family have a difficult time adjusting from being visual learners to aural learners (learning by listening). They also have shorter attention spans.

* School kids who watch too much TV also tend to work less on their homework. When doing homework with TV on the background, kids tend to retain less skill and information. When they lose sleep because of TV, they become less alert during the day, and this results in poor school performance.

* TV exposes your kid to negative influences, and promotes negative behavior. TV shows and commercials usually show violence, alcohol, drug use and sex in a positive light. The mind of your kid is like clay. It forms early impressions on what it sees, and these early impressions determine how he sees the world and affect his grown-up behavior. For instance, twenty years of research has shown that children who are more exposed to media violence behave more aggressively as kids and when they are older. They are taught by TV that violence is the way to resolve conflict – as when a TV hero beats up a bad guy to subdue him.

* Kids who watch too much TV are usually overweight, according to the American Medical Association. Kids often snack on junk food while watching TV. They are also influenced by commercials to consume unhealthy food. Also, they are not running, jumping, or doing activities that burn calories and increase metabolism. Obese kids, unless they change their habits, tend to be obese when they become adults.

Some experts, however, believe that TV is not all that bad. They qualify though that viewing TV can be good if it is done in moderation, and if the program being watched is selected :

* Some TV shows can educate, inform and inspire. It can be more effective than books or audiotapes in teaching your kid about processes like how a plant grows or how to bake a cake.

* Studies show that kids who watch educational and non-violent children’s shows do better on reading and math tests than those who do not watch these programs.

* Kids who watch informative and educational shows as preschoolers tend to watch more informative and educational shows when they get older. They use TV effectively as a complement to school learning. On the other hand, kids who watch more entertainment program watch fewer informative programs as they get older (Macbeth, 1996).

* Preschoolers who viewed educational programs tend to have higher grades, are less aggressive and value their studies more when they reach high school, according to a long-term study (Anderson, et. al, 2001).

* Finally, scientists from the University of Siena found that children experience a soothing, painkilling effect by watching cartoons. So perhaps, a little entertainment TV can be a source of relief to kids who are stressed or are in pain.

For more on how to make TV a more helpful rather than a harmful tool for making kids smart, see tips on how to handle your kid's TV watching or if you have a baby, see the effects of TV on baby.

The latest issue of the Biologist will print a U.K. scientist's findings that too much television and computer-screen watching is damaging children's health and development. According to Dr. Aric Sigman, too much TV causes short-sightedness and disrupts hormonal balance and leads to increased risk of cancer and premature puberty. It also slows down metabolism, which is link to obesity and type 2 diabetes.

read more...